KATA
PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran
Allah SWT kami sangat berbahagia telah menyelesaikan makalah yang berjudul :”CORAK DAN SISTEM HUKUM ADAT” dimana
meteri ini masuk ke dalam materi Mata Kuliah Hukum Adat.
Semoga makalah ini dapat dibukukan dan
menjadi referensi kita bersama-sama dalam pembahasan materi selanjutnya. Tak lupa pula mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya
kepada seluruh pihak yang telah meluangkan waktu untuk menyelesaikan makalah
ini. Akhir kata walaupun manusia
memiliki kehebatan dalam berkarya pasti
ada titik lemah dan kesalahan yang mereka miliki, begitu pula dalam menyusun makalah ini. Jika ada kesalahan
penulisan nama atau apapun itu merupakan keteledoran dari kami. Semoga materi
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
.
Mataram,
Februari 2012
penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Jika lihat dari perkembangan hidup
manusia, suatu hukum tersebut bisa terjadi mulai dari diri manusia yang telah
diberikan kesempurnaan yaitu berupa akal dan pikiran yang belum tentu dimiliki
oleh makhluk lain. Dimana perilaku-perilaku tersebut nantinya akan menjadi
kebiaasaan pribadi yang kemudian akan di ikuti oleh masyarakat sekitar yang
lambat laun akan menjadi suatu adat. Setelah adat terbentuk pada suatu
masyarakat, mereka akan saling mempercayai hal-hal yang dilakukan secara turun
temurun tersebut. kemudian kebiasaan masyarakat ini lambat laun akan menjadikan
adat tersebut sebagai adat yang mau tidak mau harus diikuti bagi semua
masyarakat yang ada pa tempat tertentu yang memiliki sanksi-sanksi, baik berupa
sanksi moral, maupun sanksi dari Pemangku Adat setempat.
Perkembangan zaman maupun kemajuan
teknologi dan gaya hidup masyarakat
modern ternyata sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan yang hidup didalam
peri kehidupan masyarakat, walaupun demikian mungkin hanya terlihat dalam
proses zaman yaitu kebiasaan tersebut slalu dapat menerima dan menyesuaikan
diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga kebiasaan atau adat itu tetap
berkembang dan lestaridalam keberadaannya saat ini.
Oleh karena itu kami mengajak halayak
banyak untuk melestarikan adat serta budaya Indonesia mulai dari sabang sampai
marauke.adat bangsa Indonesia ini slalu berkembang dan senantiasa bergerak dan
mengikuti peradaban-peradaban bangsa di dunia. Adat istiadat yang hidup
ditengah-tengah kita merupakan hal yang sangat mengagumkan bagi Hukum Adat kita
sebagai hukum asli dari masyarakat dan bangsa Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
unsur-unsur yang membentuk Hukum Adat?
2.
Bagaimanakah
sifat umum Hukum Adat?
3.
Bagaimanakan
macam-macam corak dari Hukum Adat itu?
4.
Bagaimanakah
sistem Hukum Adat?
C.
Tujuan
1.
Untuk
menjelaskan bahwa unsur- unsur apa saja yang membentuk terjadinya Hukum Adat.
2.
Untuk
memberikan petunjuk mengenai wujud Hukum Adat.
3.
Untuk
lebih mengenal corak-corak Hukum adat yang ada didaerah kita.
4.
Untuk
mengidentifikasi sistem Hukum Adat di Indonesia?
D.
Metode
Dalam pembuatan makalah ini saya
menggunakan sebuah metode, yaitu METODE STUDI PUSTAKA dan METODE STUDI KASUS
yaitu
1.
Metode
studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan
pengambilan data atau keterangan dari buku-buku dan sumber-sumber dari
internet. Kelebihan dari metode ini yaitu dapat memperoleh banyak informasi
yang dibutuhkan tanpa melakukan survey terlebih dahulu.
2.
Sedangkan
studi kasus disini kami mengkaitkan materi dengan kasus atau kejadian yang ada
pada masyarakat sekitar. Keuntungan dari metode ini yaitu kita dengan mudah
dapat memahami dan lebih mendalami materi yang kita kaji.
BAB
II
PEMBAHASAN
Hukum
adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para
fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai
pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati dengan
sepenuh hati. Hukum adat dalam proses abadi dibentuk dan dipelihara oleh dan
dalam keputusan pemegang kekuasaan (Tolib Setiady,S.H M.Pd., M.H)
A.
Unsur-Unsur Pembentuk Hukum Adat
Unsur-unsur
hukum adat dengan perpedoman atau
batasan hukum adat dari Prof. Dr SOEPOMO, S.H, ditambah dengan formulasi Hukum
adat dari para pakar yang berkumpul di Yogyakarta dalam seminar Hukum Adat dan
pembinaan hukum Nasiaonal tersebut dimuka, maka dapat dinyatakan bahwa”
terwujud Hukum Adat itu di pengaruhi Agama”.
Seminar
sendiri menyatakan “Hukum adat merupakan Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis
dalam bentuk Perundang-undangan Republik Indonesia, yang di sana sini
mengandung Unsur Agama”.Pandangan bahwa unsur Agama memberi pengaruh terhadap
perwujudan Hukum Adat bukanlah pandangan baru, sebab menurut Prof.Dr. SOEKANTO
( 1985 :57 ) dinyatakan sebagai berikut:
Jika
kita mengeluarkan pertanyaan hukum apakah menurut kebenaran, keadaan yang
bagian terbesar terdapat dalam Hukum Adat, maka jawabannya adalah Hukum Melayu
Polinesia yang asli itu dengan disana sini sebagai bagian yang sangat kecil
adalah hukum Agama.
Demikian
pula Prof.Mr.Mm Djojodigoeno mengemukakan
batasan yang sama karna beliau berpandangan sebagai berikut. “ unsur
lainya yang tidak begitu besar artinya atau luas pengaruhnya ialah unsur-unsur
ke agamaan , teristimewa unsu-unsur yang dibawa oleh agama Islam, pengruh Agama
Hindu dan Kristenpun ada juga.
Dengan
denikian kita sepakat bahwa pengaruh Agama terhadap proses terwujudnya Hukum
Adat sangat bersifat umum dan diakui oleh para pakar Hukum adat pada umumnya.
Contoh:
Rangkaian
adat di Lombok terutama di desa Bayan,
kecamatan Bayan pada prosesi adat yang bernama “Maulid Adat”. Maulid adat ini
dilakukan satu tahun sekali setiap acara
maulid Nabi. Yang membedakan maulid yang ada di Desa Bayan dengan daerah-daerah
lain yaitu dilakukan secara adat
tradisional khas Bayan dengan menggunakan baju adat. Baju adat yang digunakan
masih bercorak Hindu. Disini kita dapat melihat bahwa agama dapat mempengaruhi
dan menjadi unsure dalam suatu adat yang kita lakukan.
Jadi,
setelah kita melihat definisi dari para pakar dan sepenggal contoh tersebut
dapat disimpulkan bahwa agama sangatlah mempengaruhi lahirnya adat manusia.
Semua adat yang dilakukan oleh masyarakat indonesia kebanyakan mengaitkannya
dengan agama. Mereka melakukan kegiatan tersebut sejak nenek moyang mereka
lahir dan masih berkembang sampai sekarang.
B. Wujud
Hukum Adat
Di dalam masyarakat hukum adat
terlihat dalam 3 wujud yaitu :
- Hukum yang tidak tertulis (Ius Non Scriptum)
- Hukum yang tertulis (ius Scriptum)
Misalnya :
Perturan perundang-undangan yang
dikeluarkan raja-raja atau sultan-sultan dahulu di jawa, Bali, dan di Aceh.
- Uraian-uraian Hukum secara tertulis lazimnya.
Uraiannya berupa hasil penelitian yang dibukukan seperti
antara lain :
Buku hasil penelitian Soepomo yang berjudul “Hukum Perdata Adat Jawa Barat” dan
buku hasil penelitian Jaya Diguno/Tirta
winata yang diberi judul “Perdata
Adat Jawa Tengah”.
C. Sifat Hukum Adat
Menurut
Prof. Mr, F.D HOLEMAN ada empat sifat umum Hukum Adat
a.
sifat Relegium Magis
Sehubung
dengan sifat Religio Magis ini Dr. Kuntjara Ninggrat dalam tesnya menulis
bahwa”alam fikiran Religio M
agis”
itu mempunyai Unsur-unsur sebagai berikut:
1. Kepercayaan
kepada mahluk Halus,Roh_roh Dan Hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta
dan khusus terhadap gejala-gejala alam, tumbuhan, binatang, tibuh manusia, dan
benda-benda lainya.
2. Kepercayaan
kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat
pada pristiwa-peristiwa luar baisa,tumbuh-tumbuhan yang luarbiasa ,benda-benda
yang luar biasa,dan suara-suara yang luar biasa.
3. Anggapan
bahwa kekuatan sakti yang fasip itu dipergunakan sebagai “magischeb
kracht”dalam berbagai perbuatan ilmu ghaib untuk mencapai kemauan manusia untuk
menolak bahaya ghaib.
4. Anggapan
bahwa kelebihan kekuatan saksi dalam alam menyebabkan keadaan krisis
,menyebabkan timbulnya berbagaimacam bahaya ghaib yang hanya dapat di hindari
atau di hindarkan dengan berbagai macam pantangan.
b.
Sifat Komun ( Comun/ Masyarakat )
adalah
suatu corak yang khas dari masyarakat kita yang masih sangat terpencil atau
dalam kehidupan sehari-hari masih sanagat tergantung pada tanah atau alam pada
umumnya. Masyarakat desa atau senantiasa memegang peranan yang menentukan pertimbangan
putusan yang tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan desa adalah
berat berlaku terus dalam keadaan apaun
juga harus di patuhi dengan hormat.
Prof.Dr.
Achmad Sanusi, S.H, M.P.A (1991 : 126 ) Ditegaskan Bahwa dalam hal sifat Comun
ini:
“setiap
orang merasa dirinya benar-benar selaku anggota masyarakat bukan sebagai oknum yang berdiri sendiri terlepas
dari imbangan-imbangan sesamanya, ia menerima hak serta menanggung kewajiban
sesuai dengan kedudukannya. Kepentingan pribadi seseorang selalu diimbangi oleh
kepentingan umum. Demikaian sama pula halnya dengan hak–hak pribadi seseoranng
selalu di imbangi dengan kepentingan umum. Hak-hak subyektif dijalankan dengan
memperhatikan fungsi sosialnya.
Ia
terikat kepada sesamanya, kepada kepala adat dan kepada masyarakatnya. Lahirlah
keinsyafan akan keharusan tolong
menolong, gotong royong, dalam mengerjakan suatu kepentingan dalam
masyarakat. Cara-cara bertindak dalam hubungan sosial ataupun hukum selalu di
sertai asas-asas permusyawaratan, kerukunan,
perdamaian, keputusan dan keadilan”.
c.
Sifat Kontant
Sifat
kontant atau Tunai ini mengandung arti bahwa dengan suatu perbuatan nyata atau
suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang di maksud telah
selesai seketika itu juga dengan serentak
bersama itu juga dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau
mengucapkan yang diharuskan oleh adat.
Contoh
:
Jual
beli lepas, Perkawinan Jujur, melepaskan Hak atas tanah, adopsi dan sebagainya.
d.
sifat konkrit ( Visual )
Didalam
arti berfikir yang tentu senantiasa di coba dan di usahakan supaya hal-hal yang
dimaksud, dininginkan, dikhendaki atau di kerjakan, di transpormasikan atau
diberi wujud suatu benda, diberi tanda yang kelihatan baik langsung maupun
menyerupai obyek yang di kehendaki.
Contoh
:
Panjer
di dalam jual beli atau dalam hal memindahkan hak atas tanah, Paningset
(payangcang) dalam pertunanangan, membalas dendam terhadap yang membuat patung,
boneka atau barang lain lalu barang itu di musnahkan, dibakar atau di pancung.
D.
Corak
Hukum Adat
Prof. Hilman Hadikusumah, S.H.,
menegaskan bahwa Hukum Adat Indonesia yang normatif pada umumnya menunjukkan corak-corak sebagai
berikut:
1.
Tradisional
Hukum adat itu pada umumnya bercorak
tradisional , artinya “bersifat turun temurun dari zaman nenek moyang sampai ke
anak-cucu-cicit sekarang dimana keadaannya masih tetap berlaku dan tetap
dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Secara tidak langsung tradisi
yang telah dilakukan oleh orang tua atau nenek moyang kita terdahulu akan
memberikan inspirasi kepada keturunan mereka bahwa tradisi itu harus
dipertahankan. Mereka lambat laun akan mempercayai hal-hal yang berbau mitos
menjadi hal yang bisa masuk akal.
Misalnya:
a. Di
dalam hukum kekerabatan Adat Suku Sasak
Kekerabatan orang sasak terutama
Bangsawan menarik garis keturunan laki-laki, sejak dahulu sampai sekarang adat kekerabatan
tersebut masih terus dilakukan. Perempuan yang garis keturunan bangsawan harus
menikah dengan laki-laki keturunan bangsawan. Sedangkan wanita yang tidak
menikah dengan keturunan bangsawan atau menikah dengan masyarakat menak
(masyarakat biasa), maka garis keturunan wanita akan mengikuti laki-laki tanpa
membawa gelar kebangsawanannya. Didalam kekerabatan tersebut laki-laki paling
ditonjolkan dalam keluarga, sebab menurut mereka laki-laki merupakan pemimpin
dan imam bai anak dan istri mereka kelak.
b. Di
Bayan, Lombok Utara
Corak tradisional di Lombok utara di
tandai dengan ketentuan bahwa dalam hukum kewarisan berupa harta tetap seperti
rumah, sawah dan lain-lain berdasarkan patrilinial (garis keturunan laki-laki)
dengan aturan nyenyong berbanding melembah. Nyenyong disini merupakan sebutan
bagi perempuan dan melembah untuk laki-laki. Artinya laki-laki memperoleh
bagian yang lebih banyak dari perempuan, walaupun perempuan tersebut lebih tua
dari laki-laki. Jika hartaitu berupa aset tidak tetap seperti rumah atau
perabot maka yank berhak atas semua itu adalah perempuan.
2.
Keagamaan
Hukum adat itu pada umumnya bersifat “magis relegius” yaitu sifat keagamaan
artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan
terhadap yang Ghaib dan atau berdasarkan ajaran Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Menurut kepercayaan Bangsa Indonesia,
bahwa di alam semesta ini benda-benda itu serba berjiwa (animism), benda-benda
itu punya daya bergerak (dinamisme) di sekitar kehidupan manusia itu ada
roh-roh halus yang mengawasi kehidupan manusia (jin, malaikat, dan lain-lain),
dan alam jagat ini ada karena ada yang menciptakan yaitu Yang Maha Pencipta.
Oleh karenanya apabila manusia akan memutuskan atau menetapkan, mengatur,
menyelesaikan suatu karya (hajat) biasanya berdoa memohon keridhoan Yang Maha
Pencipta, Yang GHaib, dengan harapan bahwa hajat tersebut dapat berjalan sesuai
dengan yang dikehendaki dan tidak melanggar pantangan atu pamali yang dapat
mengakibatkan timbulnya kutukan dari Tuhan Yang Maha Kuasa (prof. Hilman
Hadikusumah).
Misalnya:
Adat masyarakat terutama yang beragama
islam dalam memulai pembicaraan, datang bertamu, selalu mengucapkan salam. Karna itu merupan
ajaran Rasullah dan harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Umat hindu
(Bali) ditempat-tempat tertentu mereka mendirikan tugu tempat sesajen.
Corak keagamaan di dlam Hukum Adat ini
sudah tertian di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke-3 yang
berbunyi :” atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong
keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat
Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
3.
Kebersamaan
Hukum adat mempunyai corak yang
bersifat kebersamaan (communal), artinya “ia lebih mengutamakan kepentingan
bersama dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama ( satu
untuk semua. Semua untuk satu). Hubungan hukum antara anggota masyarakat yang
satu dengan masyarakat yang lainnya didasarkan oleh rasa kebersamaan,
kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong”. Oleh karenanya hingga
sekarang kita masih dapat melihat adanya tanah pusaka yang tidak dibagi-bagi
secara individual melainkan menjadi milik bersama untuk kepentingan bersama. Di
pedesaan jika ada tetangga yang terkena musibah atau kematian, para tetangga
akan saling berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa, atau masyarakat sasak
di Lombok menyebutnya dengan Belangar. Belangar
ini merupakan adat yang diterapkan dimana seseorang akan membawa berupa beras
atau gula untuk dibawa ketempat acara kematian tersebut. Semua ini dilakukan
untuk meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.
4.
Konkrit
Dan Visual
Corak Hukum Adat adalah Konkrit,
artinya “jelas, nyata berwujud”, Visual artinya “dapat terlihat, tampak,
terbuka, tidak sembunyi”. Jadi, sifat hubungan hukum yang berlaku di dalam
Hukum Adat itu adalah “terang dan tunai, tidak samar-samar, terang disaksikan,
diketahui, dilihat dan didengar orang lain, dan nampak terjadi ijab Kabul (
serah terima).
Misalnya:
a. Di dalam jual beli jatuh bersamaan
waktunya antara pembayaran harga dengan penyerahan barangnya. Jika barang
diterima pembeli akan tetapi harganya belum dibayar, maka hal itu bukanlah jual
beli, melainkan utang piutang.
b. Dalam perjanjian jual beli tanah
misalnya, di mana pihak pembeli dan penjual sepakat akan tetapi harga tanahnya
belum dibayar dan tanahnyapun belum deserahkan oleh penjualnya. Biasanya
pembeli member uang panjer sebagai tanda pengikat (tanda jadi). Artinya si
penjual tanah tidak boleh lagi menjual tanahnya pada orang lain.
5.
Terbuka
Dan Sederhana
Corak Hukum Adat Terbuka, artinya”
dapat menerima masuknya unsur-unsur yang datanng dari luar asal saja tidak
bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri”. Sederhana, artinya
“bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasinya, bahkan kebanyakan tidak
tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling percaya
mempercayai”.
Keterbukaan, misalnya dapat dilihat
dari masuknya Agama Hindu dalam hukum perkawinan adat yang disebut Kawin
Anggau, yaitu jika suami wafat maka si istri kawin lagi dengan saudara si
suami. Atau masuknya pengaruh Agama Islam didalam hukum waris adat yang disebut
“pembagian sagendong sapikul” (bagian warisan bagi ahli waris pria dan wanita
berbanding 2:1).
Kesederhanaannya, dapat dilihat dari
contoh sebagai berikut.
a.
Terjadinya
transaksi-transaksi yang berlaku tanpa surat menyurat, misalnya didalam
perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap cukup adanya
kesepakatan ke dua belah pihak secara lisan dengan tanpa adanya surat menyurat
dan kesaksian dari Kepala Desa.
b.
Dalam
transaksi gadai, sewa-menyewa, Hutang-piutanng, Tukar-menukar, sangat sederhana
karena tidak menggunakan bukti tertulis.
c.
Dalam
system perkawinan (masa lampau) memang tidak menggunakan surat kawin, bahkan
sampai sekarangpun dikalangan kaum petani dan nelayan kecil ( miskin) di daerah
terpencil masih banyak yang tidak membutuhkan surat kawin, apalagi mengingat
biayanya cukup mahal.
d.
Dalam
pembagian warisan menurut Hukum Adat, jarang sekali dibuatkan surat menyurat
tanda pembagian dan banyaknya bagian dari para ahli waris.
6.
Dapat
Berubah Dan Menyesuaikan
Menurut prof. Dr. Supomo, S.H., sebagaimana yang telah ditegaskan oleh
Prof. Mr. Cornellis Van Vollenhoven dinyatakan sebagai berikut: “ Hukum Adat
terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Hukum Adat pada waktu yang telah lampau agak berbeda isinya. Hukum adat
menunjukkan perkembangan, dan seterusnya”.
Di Indonesia Hukum Adat menyesuaikan
diri dengan kehidupan bangsa yang ada di Indonesia sepanjang perjalanan
sejarahnya (Moch Koesnnoe 1993:67). Dengan demikian Hukum adat dapat berubah
menurut keadaan, waktu dan tempat.
Adat yang Nampak sekarang sudah jauh
berbeda dari adat di masa Hindia Belanda. Dahulu kebanyakan transaksi
jual-beli, pembagian harta warisan, pinjam meminjam tidak pernah dibuat bukti
tertulis, namun sekarang seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan di
bidang pendidikan, serta banyaknya tindakan penipuan di masyarakat, maka transaksi tersebut dibuat
dengan menggunakan system surat menyurat walaupun masih terbatas di bawah
tangan belum dilakukan di hadapan Notaris.
Maka tertinggallah adat yang tak lekang dipanas dann tak lapuk
dihujan, karena telah berubah sesuai dengan tuntutan perkembangan pola perilaku
masyarakat sekarang.
7.
Tidak
Dikodifikasi
Hukum Adat kebanyakan tidak tertulis
walaupun ada juga di antaranya yang dicatat didalam aksara daerah , bahkan ada
yang dibukukan dengan cara yang tidak sistematis, namun hanya sekedar sebagai
pedoman dan bukan mutlak harus dilaksanakan oleh anggota masyarakat, kecuali
yang bersifat perintah Tuhan.
Jadi, hukum adat pada umumnya tidak
dikodifikasikan seperti halnya hukum barat ( Eropa) yang disusun secara teratur
dan sistematis di dalam kitab yang disebut kitab Perundang_undangan, sehingga
oleh karena hukum adat mudah berubah dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan
masyarakat.
8.
Musyawarah
dan Mufakat
Hukum Adat mengutamakan adanya musyawarah
dan mufakat di dalam keluarga, didalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan
baik untuk memulai sesuatu pekerjaan maupun didalam mengakhiri pekerjaan
apalagi yang bersifat peradilan didalam menyelesaikan perselisihan antara satu
dengan yang lainnya.
Didalam menyelesaikan perselisihan
selalu diutamakan jalan penyelesaian secara rukun dan damai dengan musyawarah
mufakat, tidaklah tergopoh-gopoh begitu saja langsung menyampaikannya atau
menyelesaikannya ke pengadilan Negara. Jalan penyelesaian damai yang demikian
sangat membutuhkan adanya itikat baik dari para pihak dan adanya semangat yang
adil dan bijaksana dari orang yang dipercayakan sebagai penengah, atau semangat
dari Majelis Permusyawaratan Adat.
E.
Sistem
Hukum Adat
Suatu
sistem adalah susunan yang teratur dari berbagai unsur, dimana unsur yang satu dengan yang lain
secara fungsional saling bertautan sehingga memberikan suatu kesatuan
pengertian.
Selanjutnya
berbicara mengenai sistem hukum adat ini Prof. Dr. SOEPOMO, SH, menyebutkan
sebagai berikut.
“Tiap-tiap
hukum merupan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu
kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam fikiran, begitupun Hukum Adat. Sistem
Hukum Adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran Bangsa Indonesia yang tidak
sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar
sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup
didalam masyarakat Indonesia.
Sebagaimana
yang telah dipaparkan di atas, maka apabila dibandingkan dengan Hukum Barat
(Eropa) sistematik Hukum Adat Orang Lampung yang disebut “KUNTJARA RAJA NITI”
(tidaklah sistematis oleh karena tidak dikelompokkan kaidah-kaidah hukum yang
sama, uraian pasal-pasalnyapun melompat).
Sehubungan
dengan hal tersebut diatas maka SISTEM HUKUM ADAT adalah mencakup hal-hal
sebagai berikut.
1. Mendekati Sistem HUKUM INGGRIS
Menurut
Prof. Mr. MM. DJOJODIGEONO, dikatan
bahwa
“Dalam
Negara AGLO SAXON dimana sistem Common Law tidak lain daripada sistem hukum
adat hanya bahannya berlainan. Didalam Hukum Common Law bahannya membuat banyak
unsur-unsur Hukum Romawi Kuno yang konon katanya telah mengalami RECEPTIO IN COMPLEXU.
Kemudian
didalam ENCILOPEDIA AMERICANA (1983)
DIKATAKAN”
“Bahwa
Civil Law di Eropa Barat dan daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Orang
Eropa bertindak kepada Hukum Romawi, bersumber dari badan legislatif dan
berbentuk kodifikasi sedangkan Common Law di Inggris dan didaerah-daerah lain
yang kebanyakan berasal dari keputusan-keputusn
hakim. Oleh karenanya istilah Common Law merupakan hukum yang disebut
sebagai JUDGE MADE LAW berbeda CIVIL LAW
yang merupakan statury law.
Common
Law di Inggris berkembang sejak formulaan abad ke IX dibawah kekuasaan Raja WILLIAM THE QONQUEROR yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan
pusat pada peradilan Raja yang disebut
CURIA REGIS yaitu peradilan yang menyelsaikan berbagai perkara suatu
perselisihan secara damai.
Jadi,
di Inggris dikenal adanya Juru Damai
yang disebut Justice of the peac.
Hal ini mirip Peradilan Adat (peradilan desa) di Indonesia yang menyelsaikan
perkara perselisihan secara damai (dimasa-masa lalu dan sekarang sudah tidak
berlaku). Namun di Inggris seseorang menuntut orang lain di Muka Hakim Pidana
tanpa melalui badan penuntut.
2. Tidak membedakan Hukum Publik dan
Hukum Privat
Hukum
Adat kita tidak seperti halnya Hukum Eropa dimana membedakan antara hukum yang
bersifat publik dan bersifat perdata. Hukum publik yang menyangkut kepentingan
umum seperti Hukum Ketata Negaraan yang mengatur tugas-tugas pemerintahan dan
anggota-anggota masyarakat. Hukum Perdata dan Hukum Sipil (privat) yang
mengatur hubungan antara anggota-anggota masyarakat yang satu dengan yang
lainnya, dan anggota masyarakat terhadap badan negara sebagai badan hukum.
Pembagian
Hukum Publik Hukum Privat ini berasal dari Hukum Romawi. Hukum Publik dipertahankan
oleh pribadi-pribadi individu. Hukum adat tidak membedakan berdasarkan
kepentingan dan siapa yang
mempertahankannya dari kepentingan yang dimaksud. Dengan demikian tidak ada
perbedaan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus.
3. Tidak Membedakan HAK KEBENDAAN
DAN HAK PERORANGAN
Hukum
Adat tidak membedakan antara hak
kebendaan (zakelijke rechten) yaitu hak yang berlaku bagi setiap orang dan hak perseorangan (persolijke rechken)
yaitu hak seseorang untuk menuntut orang lain agar berbuat atau tidak berbuat
terhadap hak-haknya.
Menurut Hukum Barat atau Eropa setiap
orang yang mempunyai hak atas sesuatu benda berarti ia berkuasa untuk berbuat
(menikmati, memakai, mentransaksikan) benda miliknya itu dan sekaligus
karenanya mempunyai hak perseorangn atas hak miliknya itu. Antara kedua hak itu
tidak terpisah. Namun menurut Hukum Adat,
hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan baik berwujud benda maupun tidak
berwujud benda seperti hak atas nyawa, kehormatan hak cipta dan lain-lainnya
tidak bersifat mutlak sebagai hak pribadinnya sendiri oleh karena pribadinya
tidak lepas hubungan dengan kekeluargaan dan kekerabatannya.
4. Tidak membedakan Pelanggaran
PERDATA dan PIDANA
Hukum
Adat juga tidak membedakan antara perbuatan yang sifatnya pelanggaran hukum
perdata dan pelanggaran hukum pidana sehingga perkara perdata diperiksa oleh
hakim perdata dan perkara pidana diperiksa oleh hakim pidana.
Menurut
peradilan adat kedua pelanggaran dimaksud yang dilakukan seseorang diperiksa,
dipertimbangkan dan diputuskan sekaligus dalam suatu persidangan yang tidak
terpisah.
Misalnya:
A
memiliki hutang kepada B, setelah B 2 kali menagih kepada A akan tetapi A tidak
nampak berusaha untuk melunasi hutangnya. Ketika B menagih A untuk ketiga
kalinya, bukannya B dilayani dengan baik namun malah memukul B sampai kepalanya
terluka. B kemudian melaporkan perkara tersebut ke pihak yang berwenang untuk
di sidangkan di pengadilan.
Menurut
Hukum Barat (Eropa), perkara penganiayaan itu diperiksa oleh Hakim Pidana dan
perkara utang piutang di periksa oleh Hakim Perdata dalam pengadilan yang
terpisah. Namun Menurut Hukum Adat, kedua perkara tersebut diperiksa sekaligus
dalam persidangan (misalnya diputus oleh hakim bahwa A bersalah dan dihukum
agar melunasi hutangnya dan membayar denda pula kepada B atas perbuatan
penganiayaannya, kemudian keluarga B wajib meminta maaf dan hidup rukun kembali
dengan keluarga A). dengan demikian kehidupan yang terganggu didalam kehidupam
masyarakat yang bersangkutan dikembalikan (dipulihkan) seperti sedia kala.
Dengan
adanya perbedaan-perbedaan yang fundamental dalam sistem ini menurut SOEROJO
WIGNJOEDIPOERO, S.H, (1990:70) pada hakikatnya disebabkan oleh karena hal-hal
sebagai berikut:
a.
Corak serta sifat yang berlainan
antara Hukum Adat dan Hukum Barat (Eropa),
b.
Pandangan hidup (volkgeist) yang
mendukung kedua macam hukum itupun berbeda.
Aliran
Hukum Barat bersifat libralistis dan bercorak nasionalistis-intelektuallis,
sedangkan aliran Timur khususnya aliran pikiran tradisional Indonesia bersifat
kosmis, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia ghoib, dunia manusia
berhubungan erat dengan segala hidup di alam ini. Segala sesuatu memiliki
sangkut paut dan saling mempengaruhi.
Menurut
Abdoel Djamali (2008), berdasarkan sumber hukum dan tipe hukum adat dari
sembilan belas daerah mengenai tata negara di indonesian sistem hukum adat
dibagi menjadi tiga kelompok:
a. Hukum
adat mengenai tata negara (tata susunan rakyat). Hukum adat iini mengatur
tentang susunan dari dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan
hukum(rechtsgemenschappen) serta susunan dan alat-alat kelengkapan,
jabatan-jabatan dan penjabatannya.
b. Hukum
Adat mengenai warga (hukum warga) terdiri dari:
1.
hukum pertalian sanak (perkawinan,
warisan);
2.
hukum tanah (hak tanah,
transaksi-transaksi tanah);
3.
hukum perhutangan (hak-hak atasan,
transaksi-transaksitentang benda selain tanah
dan jasa).
c. Hukum
adat mengenai delik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang berbagai
delik dan reaksi masyarakat terhadapp pelanggaran hukum pidana tersebut.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Bahwa
dengan demikian maka sumber hukum adat Indonesia adalah berasal dari kehidupan
sehari-hari yang langsung timbul sebagai kenyataan kebudayaan orang Indonesia asli. Berbagai
macam corak dan sistem hukum adat yang ada di Indonesia, namun masing-masing daerah
di Indonesia memiliki cirri khas tersendiri. Mereka memiliki aturan
masing-masing dalam menjalankan adat istiadat mereka.
B.
SARAN
Lestarikanlah
budaya adat dimanapun kalian berada tanpa meninggalkan nilai-nilai keagamaan
maupun melenceng dari ajaran agama yang telah dipegang teguh selama ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Soepomo, R. Prof. Dr. S.H,(1993), “Bab-Bab
Tentang Hukum Adat”, Penerbit PT Raja Pradnya Pramita, Jakarta.
Soekanto, Prof. Dr. Mr., (1985), “Meninjau Hukum Adat Indonesia”, Penerbit
CV. Rajawali, Jakarta.
Tolib Setiadi, Bey, S.H. M.
Pd.,(2000),”Pokok-Pokok Pengantar Ilmu
Hukum”, Penerbit Empat-Tiga, Bandung.
Achmad Sanusi, Prof. Dr. S.H.,(1991), “Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata
Hukum Indonesia”, Penerbit Tarsito, Bandung.
Abdoel Djamali R. S.H., (2008), Pengantar Hukum Indonesia, Raja
Grapindopersa, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, Prof.
S.H.,(1992), “Pengantar Ilmu Hukum Adat
Indonesia”, Mandar Maju, Bandung.
Soerojo Wignjoedipoero,
S.H, (1990:70),”Pengantar dan Azas-azas
Hukum Adat”, Haji Masagung, Jakarta.
Menurut Abdoel
Djamali (2008)
kereeeen....
BalasHapustampilannya unik...