Rabu, 02 Mei 2012

Corak Hukum Adat dan Sistem Hukum adat


KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadiran Allah SWT kami sangat berbahagia telah menyelesaikan makalah yang berjudul :”CORAK DAN SISTEM HUKUM ADAT” dimana meteri ini masuk ke dalam materi Mata Kuliah Hukum Adat.
Semoga makalah ini dapat dibukukan dan menjadi referensi kita bersama-sama dalam pembahasan materi selanjutnya.  Tak lupa pula  mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada seluruh pihak yang telah meluangkan waktu untuk menyelesaikan makalah ini. Akhir kata walaupun  manusia memiliki kehebatan  dalam berkarya pasti ada titik lemah dan kesalahan yang mereka miliki, begitu pula  dalam menyusun makalah ini. Jika ada kesalahan penulisan nama atau apapun itu merupakan keteledoran dari kami. Semoga materi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
.                                                                                  


Mataram, Februari 2012

                                                                                                       penyusun







BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Jika lihat dari perkembangan hidup manusia, suatu hukum tersebut bisa terjadi mulai dari diri manusia yang telah diberikan kesempurnaan yaitu berupa akal dan pikiran yang belum tentu dimiliki oleh makhluk lain. Dimana perilaku-perilaku tersebut nantinya akan menjadi kebiaasaan pribadi yang kemudian akan di ikuti oleh masyarakat sekitar yang lambat laun akan menjadi suatu adat. Setelah adat terbentuk pada suatu masyarakat, mereka akan saling mempercayai hal-hal yang dilakukan secara turun temurun tersebut. kemudian kebiasaan masyarakat ini lambat laun akan menjadikan adat tersebut sebagai adat yang mau tidak mau harus diikuti bagi semua masyarakat yang ada pa tempat tertentu yang memiliki sanksi-sanksi, baik berupa sanksi moral, maupun sanksi dari Pemangku Adat setempat.
Perkembangan zaman maupun kemajuan teknologi  dan gaya hidup masyarakat modern ternyata sangat sulit untuk meninggalkan kebiasaan yang hidup didalam peri kehidupan masyarakat, walaupun demikian mungkin hanya terlihat dalam proses zaman yaitu kebiasaan tersebut slalu dapat menerima dan menyesuaikan diri dengan keadaan dan kehendak zaman, sehingga kebiasaan atau adat itu tetap berkembang dan lestaridalam keberadaannya saat ini.
Oleh karena itu kami mengajak halayak banyak untuk melestarikan adat serta budaya Indonesia mulai dari sabang sampai marauke.adat bangsa Indonesia ini slalu berkembang dan senantiasa bergerak dan mengikuti peradaban-peradaban bangsa di dunia. Adat istiadat yang hidup ditengah-tengah kita merupakan hal yang sangat mengagumkan bagi Hukum Adat kita sebagai hukum asli dari masyarakat dan bangsa Indonesia.
B.      Rumusan Masalah
1.       Bagaimanakah unsur-unsur yang membentuk Hukum Adat?
2.       Bagaimanakah sifat umum Hukum Adat?
3.       Bagaimanakan macam-macam corak dari Hukum Adat itu?
4.       Bagaimanakah sistem Hukum Adat?

C.     Tujuan
1.       Untuk menjelaskan bahwa unsur- unsur apa saja yang membentuk terjadinya Hukum Adat.
2.       Untuk memberikan petunjuk mengenai wujud Hukum Adat.
3.       Untuk lebih mengenal corak-corak Hukum adat yang ada didaerah kita.
4.       Untuk mengidentifikasi sistem Hukum Adat di Indonesia?

D.     Metode
Dalam pembuatan makalah ini saya menggunakan sebuah metode, yaitu METODE STUDI PUSTAKA dan METODE STUDI KASUS yaitu
1.       Metode studi pustaka merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan pengambilan data atau keterangan dari buku-buku dan sumber-sumber dari internet. Kelebihan dari metode ini yaitu dapat memperoleh banyak informasi yang dibutuhkan tanpa melakukan survey terlebih dahulu.
2.       Sedangkan studi kasus disini kami mengkaitkan materi dengan kasus atau kejadian yang ada pada masyarakat sekitar. Keuntungan dari metode ini yaitu kita dengan mudah dapat memahami dan lebih mendalami materi yang kita kaji.









BAB II
PEMBAHASAN
Hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati. Hukum adat dalam proses abadi dibentuk dan dipelihara oleh dan dalam keputusan pemegang kekuasaan (Tolib Setiady,S.H M.Pd., M.H)
A.      Unsur-Unsur Pembentuk Hukum Adat
Unsur-unsur hukum adat  dengan perpedoman atau batasan hukum adat dari Prof. Dr SOEPOMO, S.H, ditambah dengan formulasi Hukum adat dari para pakar yang berkumpul di Yogyakarta dalam seminar Hukum Adat dan pembinaan hukum Nasiaonal tersebut dimuka, maka dapat dinyatakan bahwa” terwujud Hukum Adat itu di pengaruhi Agama”.
Seminar sendiri menyatakan “Hukum adat merupakan Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk Perundang-undangan Republik Indonesia, yang di sana sini mengandung Unsur Agama”.Pandangan bahwa unsur Agama memberi pengaruh terhadap perwujudan Hukum Adat bukanlah pandangan baru, sebab menurut Prof.Dr. SOEKANTO ( 1985 :57 ) dinyatakan sebagai berikut:
Jika kita mengeluarkan pertanyaan hukum apakah menurut kebenaran, keadaan yang bagian terbesar terdapat dalam Hukum Adat, maka jawabannya adalah Hukum Melayu Polinesia yang asli itu dengan disana sini sebagai bagian yang sangat kecil adalah hukum Agama.
Demikian pula Prof.Mr.Mm Djojodigoeno mengemukakan  batasan yang sama karna beliau berpandangan sebagai berikut. “ unsur lainya yang tidak begitu besar artinya atau luas pengaruhnya ialah unsur-unsur ke agamaan , teristimewa unsu-unsur yang dibawa oleh agama Islam, pengruh Agama Hindu dan Kristenpun ada juga.
Dengan denikian kita sepakat bahwa pengaruh Agama terhadap proses terwujudnya Hukum Adat sangat bersifat umum dan diakui oleh para pakar Hukum adat pada umumnya.
Contoh:
Rangkaian adat  di Lombok terutama di desa Bayan, kecamatan Bayan pada prosesi adat yang bernama “Maulid Adat”. Maulid adat ini dilakukan  satu tahun sekali setiap acara maulid Nabi. Yang membedakan maulid yang ada di Desa Bayan dengan daerah-daerah lain  yaitu dilakukan secara adat tradisional khas Bayan dengan menggunakan baju adat. Baju adat yang digunakan masih bercorak Hindu. Disini kita dapat melihat bahwa agama dapat mempengaruhi dan menjadi unsure dalam suatu adat yang kita lakukan.
Jadi, setelah kita melihat definisi dari para pakar dan sepenggal contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa agama sangatlah mempengaruhi lahirnya adat manusia. Semua adat yang dilakukan oleh masyarakat indonesia kebanyakan mengaitkannya dengan agama. Mereka melakukan kegiatan tersebut sejak nenek moyang mereka lahir dan masih berkembang sampai sekarang.
B.      Wujud Hukum Adat

Di dalam masyarakat hukum adat terlihat dalam 3 wujud yaitu  :
  1. Hukum yang tidak tertulis (Ius Non Scriptum)
  1. Hukum yang tertulis (ius Scriptum)
Misalnya  :
Perturan perundang-undangan yang dikeluarkan raja-raja atau sultan-sultan dahulu di jawa, Bali, dan di Aceh.
  1. Uraian-uraian Hukum secara tertulis lazimnya.
Uraiannya berupa  hasil penelitian yang dibukukan seperti antara lain  :
Buku hasil penelitian Soepomo yang berjudul “Hukum Perdata Adat Jawa Barat” dan buku hasil penelitian Jaya Diguno/Tirta winata yang diberi judul “Perdata Adat Jawa Tengah”.



C.     Sifat Hukum Adat
Menurut Prof. Mr, F.D HOLEMAN ada empat sifat umum Hukum Adat
a.       sifat Relegium Magis
Sehubung dengan sifat Religio Magis ini Dr. Kuntjara Ninggrat dalam tesnya menulis bahwa”alam fikiran Religio M
agis” itu mempunyai Unsur-unsur sebagai berikut:
1.      Kepercayaan kepada mahluk Halus,Roh_roh Dan Hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta dan khusus terhadap gejala-gejala alam, tumbuhan, binatang, tibuh manusia, dan benda-benda lainya.
2.      Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat pada pristiwa-peristiwa luar baisa,tumbuh-tumbuhan yang luarbiasa ,benda-benda yang luar biasa,dan suara-suara yang luar biasa.
3.      Anggapan bahwa kekuatan sakti yang fasip itu dipergunakan sebagai “magischeb kracht”dalam berbagai perbuatan ilmu ghaib untuk mencapai kemauan manusia untuk menolak bahaya ghaib.
4.      Anggapan bahwa kelebihan kekuatan saksi dalam alam menyebabkan keadaan krisis ,menyebabkan timbulnya berbagaimacam bahaya ghaib yang hanya dapat di hindari atau di hindarkan dengan berbagai macam pantangan.

b.       Sifat Komun ( Comun/ Masyarakat )
adalah suatu corak yang khas dari masyarakat kita yang masih sangat terpencil atau dalam kehidupan sehari-hari masih sanagat tergantung pada tanah atau alam pada umumnya. Masyarakat desa atau senantiasa memegang peranan yang menentukan pertimbangan putusan yang tidak boleh dan tidak dapat disia-siakan. Keputusan desa adalah berat  berlaku terus dalam keadaan apaun juga harus di patuhi dengan hormat.
Prof.Dr. Achmad Sanusi, S.H, M.P.A (1991 : 126 ) Ditegaskan Bahwa dalam hal sifat Comun ini:
“setiap orang merasa dirinya benar-benar selaku anggota masyarakat  bukan sebagai oknum yang berdiri sendiri terlepas dari imbangan-imbangan sesamanya, ia menerima hak serta menanggung kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Kepentingan pribadi seseorang selalu diimbangi oleh kepentingan umum. Demikaian sama pula halnya dengan hak–hak pribadi seseoranng selalu di imbangi dengan kepentingan umum. Hak-hak subyektif dijalankan dengan memperhatikan fungsi sosialnya.
Ia terikat kepada sesamanya, kepada kepala adat dan kepada masyarakatnya. Lahirlah keinsyafan akan keharusan tolong  menolong, gotong royong, dalam mengerjakan suatu kepentingan dalam masyarakat. Cara-cara bertindak dalam hubungan sosial ataupun hukum selalu di sertai  asas-asas permusyawaratan, kerukunan, perdamaian, keputusan dan keadilan”.
c.       Sifat Kontant
Sifat kontant atau Tunai ini mengandung arti bahwa dengan suatu perbuatan nyata atau suatu perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, tindakan hukum yang di maksud telah selesai seketika itu juga dengan serentak  bersama itu juga dengan serentak bersamaan waktunya tatkala berbuat atau mengucapkan yang diharuskan oleh adat.
Contoh :
Jual beli lepas, Perkawinan Jujur, melepaskan Hak atas tanah, adopsi dan sebagainya.
d.       sifat konkrit ( Visual )
Didalam arti berfikir yang tentu senantiasa di coba dan di usahakan supaya hal-hal yang dimaksud, dininginkan, dikhendaki atau di kerjakan, di transpormasikan atau diberi wujud suatu benda, diberi tanda yang kelihatan baik langsung maupun menyerupai obyek yang di kehendaki.

Contoh :
Panjer di dalam jual beli atau dalam hal memindahkan hak atas tanah, Paningset (payangcang) dalam pertunanangan, membalas dendam terhadap yang membuat patung, boneka atau barang lain lalu barang itu di musnahkan, dibakar atau di pancung.


D.     Corak Hukum  Adat
Prof. Hilman Hadikusumah, S.H., menegaskan bahwa Hukum Adat Indonesia yang normatif  pada umumnya menunjukkan corak-corak sebagai berikut:
1.       Tradisional
Hukum adat itu pada umumnya bercorak tradisional , artinya “bersifat turun temurun dari zaman nenek moyang sampai ke anak-cucu-cicit sekarang dimana keadaannya masih tetap berlaku dan tetap dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Secara tidak langsung tradisi yang telah dilakukan oleh orang tua atau nenek moyang kita terdahulu akan memberikan inspirasi kepada keturunan mereka bahwa tradisi itu harus dipertahankan. Mereka lambat laun akan mempercayai hal-hal yang berbau mitos menjadi hal yang bisa masuk akal.
Misalnya:
a.       Di dalam hukum kekerabatan Adat Suku Sasak
Kekerabatan orang sasak terutama Bangsawan menarik garis keturunan laki-laki, sejak dahulu sampai sekarang adat kekerabatan tersebut masih terus dilakukan. Perempuan yang garis keturunan bangsawan harus menikah dengan laki-laki keturunan bangsawan. Sedangkan wanita yang tidak menikah dengan keturunan bangsawan atau menikah dengan masyarakat menak (masyarakat biasa), maka garis keturunan wanita akan mengikuti laki-laki tanpa membawa gelar kebangsawanannya. Didalam kekerabatan tersebut laki-laki paling ditonjolkan dalam keluarga, sebab menurut mereka laki-laki merupakan pemimpin dan imam bai anak dan istri mereka kelak.
b.      Di Bayan, Lombok Utara
Corak tradisional di Lombok utara di tandai dengan ketentuan bahwa dalam hukum kewarisan berupa harta tetap seperti rumah, sawah dan lain-lain berdasarkan patrilinial (garis keturunan laki-laki) dengan aturan nyenyong berbanding melembah. Nyenyong disini merupakan sebutan bagi perempuan dan melembah untuk laki-laki. Artinya laki-laki memperoleh bagian yang lebih banyak dari perempuan, walaupun perempuan tersebut lebih tua dari laki-laki. Jika hartaitu berupa aset tidak tetap seperti rumah atau perabot maka yank berhak atas semua itu adalah perempuan.
2.       Keagamaan
Hukum adat  itu pada umumnya bersifat “magis relegius” yaitu sifat keagamaan artinya perilaku hukum atau kaidah-kaidah hukumnya berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang Ghaib dan atau berdasarkan ajaran Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Menurut kepercayaan Bangsa Indonesia, bahwa di alam semesta ini benda-benda itu serba berjiwa (animism), benda-benda itu punya daya bergerak (dinamisme) di sekitar kehidupan manusia itu ada roh-roh halus yang mengawasi kehidupan manusia (jin, malaikat, dan lain-lain), dan alam jagat ini ada karena ada yang menciptakan yaitu Yang Maha Pencipta. Oleh karenanya apabila manusia akan memutuskan atau menetapkan, mengatur, menyelesaikan suatu karya (hajat) biasanya berdoa memohon keridhoan Yang Maha Pencipta, Yang GHaib, dengan harapan bahwa hajat tersebut dapat berjalan sesuai dengan yang dikehendaki dan tidak melanggar pantangan atu pamali yang dapat mengakibatkan timbulnya kutukan dari Tuhan Yang Maha Kuasa (prof. Hilman Hadikusumah).
Misalnya:
Adat masyarakat terutama yang beragama islam dalam memulai pembicaraan, datang bertamu,  selalu mengucapkan salam. Karna itu merupan ajaran Rasullah dan harus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Umat hindu (Bali) ditempat-tempat tertentu mereka mendirikan tugu tempat sesajen.
Corak keagamaan di dlam Hukum Adat ini sudah tertian di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke-3 yang berbunyi :” atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.  
3.       Kebersamaan
Hukum adat mempunyai corak yang bersifat kebersamaan (communal), artinya “ia lebih mengutamakan kepentingan bersama dimana kepentingan pribadi itu diliputi oleh kepentingan bersama ( satu untuk semua. Semua untuk satu). Hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong dan gotong royong”. Oleh karenanya hingga sekarang kita masih dapat melihat adanya tanah pusaka yang tidak dibagi-bagi secara individual melainkan menjadi milik bersama untuk kepentingan bersama. Di pedesaan jika ada tetangga yang terkena musibah atau kematian, para tetangga akan saling berdatangan untuk menyampaikan bela sungkawa, atau masyarakat sasak di Lombok menyebutnya dengan Belangar. Belangar ini merupakan adat yang diterapkan dimana seseorang akan membawa berupa beras atau gula untuk dibawa ketempat acara kematian tersebut. Semua ini dilakukan untuk meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.
4.       Konkrit Dan  Visual
Corak Hukum Adat adalah Konkrit, artinya “jelas, nyata berwujud”, Visual artinya “dapat terlihat, tampak, terbuka, tidak sembunyi”. Jadi, sifat hubungan hukum yang berlaku di dalam Hukum Adat itu adalah “terang dan tunai, tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar orang lain, dan nampak terjadi ijab Kabul ( serah terima).
Misalnya:
a.       Di dalam jual beli jatuh bersamaan waktunya antara pembayaran harga dengan penyerahan barangnya. Jika barang diterima pembeli akan tetapi harganya belum dibayar, maka hal itu bukanlah jual beli, melainkan utang piutang.
b.      Dalam perjanjian jual beli tanah misalnya, di mana pihak pembeli dan penjual sepakat akan tetapi harga tanahnya belum dibayar dan tanahnyapun belum deserahkan oleh penjualnya. Biasanya pembeli member uang panjer sebagai tanda pengikat (tanda jadi). Artinya si penjual tanah tidak boleh lagi menjual tanahnya pada orang lain.

5.       Terbuka Dan Sederhana
Corak Hukum Adat Terbuka, artinya” dapat menerima masuknya unsur-unsur yang datanng dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adat itu sendiri”. Sederhana, artinya “bersahaja, tidak rumit, tidak banyak administrasinya, bahkan kebanyakan tidak tertulis, mudah dimengerti dan dilaksanakan berdasarkan saling percaya mempercayai”.
Keterbukaan, misalnya dapat dilihat dari masuknya Agama Hindu dalam hukum perkawinan adat yang disebut Kawin Anggau, yaitu jika suami wafat maka si istri kawin lagi dengan saudara si suami. Atau masuknya pengaruh Agama Islam didalam hukum waris adat yang disebut “pembagian sagendong sapikul” (bagian warisan bagi ahli waris pria dan wanita berbanding 2:1).
Kesederhanaannya, dapat dilihat dari contoh sebagai berikut.
a.       Terjadinya transaksi-transaksi yang berlaku tanpa surat menyurat, misalnya didalam perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarap cukup adanya kesepakatan ke dua belah pihak secara lisan dengan tanpa adanya surat menyurat dan kesaksian dari Kepala Desa.
b.       Dalam transaksi gadai, sewa-menyewa, Hutang-piutanng, Tukar-menukar, sangat sederhana karena tidak menggunakan bukti tertulis.
c.       Dalam system perkawinan (masa lampau) memang tidak menggunakan surat kawin, bahkan sampai sekarangpun dikalangan kaum petani dan nelayan kecil ( miskin) di daerah terpencil masih banyak yang tidak membutuhkan surat kawin, apalagi mengingat biayanya cukup mahal.
d.       Dalam pembagian warisan menurut Hukum Adat, jarang sekali dibuatkan surat menyurat tanda pembagian dan banyaknya bagian dari para ahli waris.

6.       Dapat Berubah Dan Menyesuaikan
Menurut prof. Dr. Supomo, S.H., sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Prof. Mr. Cornellis Van Vollenhoven dinyatakan sebagai berikut: “ Hukum Adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri. Hukum Adat pada waktu yang telah lampau agak berbeda isinya. Hukum adat menunjukkan perkembangan, dan seterusnya”.
Di Indonesia Hukum Adat menyesuaikan diri dengan kehidupan bangsa yang ada di Indonesia sepanjang perjalanan sejarahnya (Moch Koesnnoe 1993:67). Dengan demikian Hukum adat dapat berubah menurut keadaan, waktu dan tempat.
Adat yang Nampak sekarang sudah jauh berbeda dari adat di masa Hindia Belanda. Dahulu kebanyakan transaksi jual-beli, pembagian harta warisan, pinjam meminjam tidak pernah dibuat bukti tertulis, namun sekarang seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan di bidang pendidikan, serta banyaknya tindakan penipuan di  masyarakat, maka transaksi tersebut dibuat dengan menggunakan system surat menyurat walaupun masih terbatas di bawah tangan belum dilakukan di hadapan Notaris.
Maka tertinggallah  adat yang tak lekang dipanas dann tak lapuk dihujan, karena telah berubah sesuai dengan tuntutan perkembangan pola perilaku masyarakat sekarang.
7.       Tidak Dikodifikasi
Hukum Adat kebanyakan tidak tertulis walaupun ada juga di antaranya yang dicatat didalam aksara daerah , bahkan ada yang dibukukan dengan cara yang tidak sistematis, namun hanya sekedar sebagai pedoman dan bukan mutlak harus dilaksanakan oleh anggota masyarakat, kecuali yang bersifat perintah Tuhan.
Jadi, hukum adat pada umumnya tidak dikodifikasikan seperti halnya hukum barat ( Eropa) yang disusun secara teratur dan sistematis di dalam kitab yang disebut kitab Perundang_undangan, sehingga oleh karena hukum adat mudah berubah dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
8.       Musyawarah dan Mufakat
Hukum Adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat di dalam keluarga, didalam hubungan kekerabatan dan ketetanggaan baik untuk memulai sesuatu pekerjaan maupun didalam mengakhiri pekerjaan apalagi yang bersifat peradilan didalam menyelesaikan perselisihan antara satu dengan yang lainnya.
Didalam menyelesaikan perselisihan selalu diutamakan jalan penyelesaian secara rukun dan damai dengan musyawarah mufakat, tidaklah tergopoh-gopoh begitu saja langsung menyampaikannya atau menyelesaikannya ke pengadilan Negara. Jalan penyelesaian damai yang demikian sangat membutuhkan adanya itikat baik dari para pihak dan adanya semangat yang adil dan bijaksana dari orang yang dipercayakan sebagai penengah, atau semangat dari Majelis Permusyawaratan Adat.
E.      Sistem Hukum Adat
Suatu sistem adalah susunan yang teratur dari berbagai unsur,  dimana unsur yang satu dengan yang lain secara fungsional saling bertautan sehingga memberikan suatu kesatuan pengertian.
Selanjutnya berbicara mengenai sistem hukum adat ini Prof. Dr. SOEPOMO, SH, menyebutkan sebagai berikut.
“Tiap-tiap hukum merupan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam fikiran, begitupun Hukum Adat. Sistem Hukum Adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran Bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar sistem hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran yang hidup didalam masyarakat Indonesia.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, maka apabila dibandingkan dengan Hukum Barat (Eropa) sistematik Hukum Adat Orang Lampung yang disebut “KUNTJARA RAJA NITI” (tidaklah sistematis oleh karena tidak dikelompokkan kaidah-kaidah hukum yang sama, uraian pasal-pasalnyapun melompat).
Sehubungan dengan hal tersebut diatas maka SISTEM HUKUM ADAT adalah mencakup hal-hal sebagai berikut.
1.       Mendekati Sistem HUKUM INGGRIS
Menurut Prof. Mr. MM. DJOJODIGEONO, dikatan bahwa
“Dalam Negara AGLO SAXON dimana sistem Common Law tidak lain daripada sistem hukum adat hanya bahannya berlainan. Didalam Hukum Common Law bahannya membuat banyak unsur-unsur Hukum Romawi Kuno yang konon katanya telah mengalami RECEPTIO IN COMPLEXU.
Kemudian didalam ENCILOPEDIA AMERICANA (1983) DIKATAKAN”
“Bahwa Civil Law di Eropa Barat dan daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh Orang Eropa bertindak kepada Hukum Romawi, bersumber dari badan legislatif dan berbentuk kodifikasi sedangkan Common Law di Inggris dan didaerah-daerah lain yang kebanyakan berasal dari keputusan-keputusn  hakim. Oleh karenanya istilah Common Law merupakan hukum yang disebut sebagai JUDGE MADE LAW berbeda CIVIL LAW yang merupakan statury law.
Common Law di Inggris berkembang sejak formulaan abad ke IX  dibawah kekuasaan Raja WILLIAM THE QONQUEROR yang meletakkan dasar-dasar pemerintahan pusat pada peradilan Raja yang disebut CURIA REGIS yaitu peradilan yang menyelsaikan berbagai perkara suatu perselisihan secara damai.
Jadi, di Inggris dikenal adanya Juru Damai yang disebut Justice of the peac. Hal ini mirip  Peradilan Adat (peradilan desa) di Indonesia yang menyelsaikan perkara perselisihan secara damai (dimasa-masa lalu dan sekarang sudah tidak berlaku). Namun di Inggris seseorang menuntut orang lain di Muka Hakim Pidana tanpa melalui badan penuntut.
2.       Tidak membedakan Hukum Publik dan Hukum Privat
Hukum Adat kita tidak seperti halnya Hukum Eropa dimana membedakan antara hukum yang bersifat publik dan bersifat perdata. Hukum publik yang menyangkut kepentingan umum seperti Hukum Ketata Negaraan yang mengatur tugas-tugas pemerintahan dan anggota-anggota masyarakat. Hukum Perdata dan Hukum Sipil (privat) yang mengatur hubungan antara anggota-anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya, dan anggota masyarakat terhadap badan negara sebagai badan hukum.
Pembagian Hukum Publik Hukum Privat ini berasal dari Hukum Romawi. Hukum Publik dipertahankan oleh pribadi-pribadi individu. Hukum adat tidak membedakan berdasarkan kepentingan  dan siapa yang mempertahankannya dari kepentingan yang dimaksud. Dengan demikian tidak ada perbedaan antara kepentingan umum dan kepentingan khusus.
3.       Tidak Membedakan HAK KEBENDAAN DAN HAK PERORANGAN
Hukum Adat tidak membedakan antara hak kebendaan (zakelijke rechten) yaitu hak yang berlaku bagi setiap orang dan hak perseorangan (persolijke rechken) yaitu hak seseorang untuk menuntut orang lain agar berbuat atau tidak berbuat terhadap hak-haknya.
Menurut Hukum Barat atau Eropa setiap orang yang mempunyai hak atas sesuatu benda berarti ia berkuasa untuk berbuat (menikmati, memakai, mentransaksikan) benda miliknya itu dan sekaligus karenanya mempunyai hak perseorangn atas hak miliknya itu. Antara kedua hak itu tidak terpisah. Namun menurut Hukum Adat, hak-hak kebendaan dan hak-hak perseorangan baik berwujud benda maupun tidak berwujud benda seperti hak atas nyawa, kehormatan hak cipta dan lain-lainnya tidak bersifat mutlak sebagai hak pribadinnya sendiri oleh karena pribadinya tidak lepas hubungan dengan kekeluargaan dan kekerabatannya.
4.       Tidak membedakan Pelanggaran PERDATA dan PIDANA
Hukum Adat juga tidak membedakan antara perbuatan yang sifatnya pelanggaran hukum perdata dan pelanggaran hukum pidana sehingga perkara perdata diperiksa oleh hakim perdata dan perkara pidana diperiksa oleh hakim pidana.
Menurut peradilan adat kedua pelanggaran dimaksud yang dilakukan seseorang diperiksa, dipertimbangkan dan diputuskan sekaligus dalam suatu persidangan yang tidak terpisah.
Misalnya:
A memiliki hutang kepada B, setelah B 2 kali menagih kepada A akan tetapi A tidak nampak berusaha untuk melunasi hutangnya. Ketika B menagih A untuk ketiga kalinya, bukannya B dilayani dengan baik namun malah memukul B sampai kepalanya terluka. B kemudian melaporkan perkara tersebut ke pihak yang berwenang untuk di sidangkan di pengadilan.
Menurut Hukum Barat (Eropa), perkara penganiayaan itu diperiksa oleh Hakim Pidana dan perkara utang piutang di periksa oleh Hakim Perdata dalam pengadilan yang terpisah. Namun Menurut Hukum Adat, kedua perkara tersebut diperiksa sekaligus dalam persidangan (misalnya diputus oleh hakim bahwa A bersalah dan dihukum agar melunasi hutangnya dan membayar denda pula kepada B atas perbuatan penganiayaannya, kemudian keluarga B wajib meminta maaf dan hidup rukun kembali dengan keluarga A). dengan demikian kehidupan yang terganggu didalam kehidupam masyarakat yang bersangkutan dikembalikan (dipulihkan) seperti sedia  kala.
Dengan adanya perbedaan-perbedaan yang fundamental dalam sistem ini menurut SOEROJO WIGNJOEDIPOERO, S.H, (1990:70) pada hakikatnya disebabkan oleh karena hal-hal sebagai berikut:
a.       Corak serta sifat yang berlainan antara Hukum Adat dan Hukum Barat (Eropa),
b.       Pandangan hidup (volkgeist) yang mendukung kedua macam hukum itupun berbeda.
Aliran Hukum Barat bersifat libralistis dan bercorak nasionalistis-intelektuallis, sedangkan aliran Timur khususnya aliran pikiran tradisional Indonesia bersifat kosmis, tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia ghoib, dunia manusia berhubungan erat dengan segala hidup di alam ini. Segala sesuatu memiliki sangkut paut dan saling mempengaruhi.
Menurut Abdoel Djamali (2008), berdasarkan sumber hukum dan tipe hukum adat dari sembilan belas daerah mengenai tata negara di indonesian sistem hukum adat dibagi menjadi tiga kelompok:
a.       Hukum adat mengenai tata negara (tata susunan rakyat). Hukum adat iini mengatur tentang susunan dari dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum(rechtsgemenschappen) serta susunan dan alat-alat kelengkapan, jabatan-jabatan dan penjabatannya.
b.       Hukum Adat mengenai warga (hukum warga) terdiri dari:
1.       hukum pertalian sanak (perkawinan, warisan);
2.       hukum tanah (hak tanah, transaksi-transaksi tanah);
3.       hukum perhutangan (hak-hak atasan, transaksi-transaksitentang benda selain tanah  dan jasa).
c.       Hukum adat mengenai delik (hukum pidana), memuat peraturan-peraturan tentang berbagai delik dan reaksi masyarakat terhadapp pelanggaran hukum pidana tersebut.





























BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Bahwa dengan demikian maka sumber hukum adat Indonesia adalah berasal dari kehidupan sehari-hari yang langsung timbul sebagai kenyataan  kebudayaan orang Indonesia asli. Berbagai macam corak dan sistem hukum adat yang ada di Indonesia, namun masing-masing daerah di Indonesia memiliki cirri khas tersendiri. Mereka memiliki aturan masing-masing dalam menjalankan adat istiadat mereka.


B.      SARAN
Lestarikanlah budaya adat dimanapun kalian berada tanpa meninggalkan nilai-nilai keagamaan maupun melenceng dari ajaran agama yang telah dipegang teguh selama ini.

















DAFTAR PUSTAKA
Soepomo, R. Prof. Dr. S.H,(1993),  “Bab-Bab Tentang Hukum Adat”, Penerbit PT Raja Pradnya Pramita,   Jakarta.
Soekanto, Prof. Dr. Mr., (1985), “Meninjau Hukum Adat Indonesia”, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta.
Tolib Setiadi, Bey, S.H. M. Pd.,(2000),”Pokok-Pokok Pengantar Ilmu Hukum”, Penerbit Empat-Tiga, Bandung.
Achmad Sanusi, Prof. Dr. S.H.,(1991), “Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia”, Penerbit Tarsito, Bandung.
Abdoel Djamali R. S.H., (2008), Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grapindopersa, Jakarta.
Hilman Hadikusuma, Prof. S.H.,(1992), “Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia”, Mandar Maju, Bandung.
Soerojo Wignjoedipoero, S.H, (1990:70),”Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat”, Haji Masagung, Jakarta.
Menurut Abdoel Djamali (2008)

1 komentar: